Jalaluddin Rumi (1207-1273 M): Sufi dan Penyair Muslim Persia yang Diagungkan

Di tengah proses me time saya dengan Seni Merayu Tuhan (2022) karya Habib Ja’far al-Hadar, nama Jalaluddin Rumi hadir sebagai salah satu representasi terbaik untuk dakwah “Islam Cinta”, yang kata Habib Ja’far al-Hadar adalah formulasi dakwah Islam yang menekankan spiritualitas Islam dengan “Cinta” sebagai pusatnya.

Tentu saja saya sudah tidak asing dengan nama Jalaluddin Rumi sejak lama sekali. Namanya debut dimana-mana; novel fiksi, non-fiksi, film, quotes yang berseliweran di media sosial, sampai menjadi inspirasi bagi banyak orang tua di dunia untuk menamai anaknya seapik-apiknya. Dan sebagaimana yang saya maupun kalian sadari, Jalaluddin Rumi sepertinya memang tidak pernah jauh-jauh dari diskursus “cinta”.

Jalaluddin Muhammad dari Kota Rum

Pada 30 September 1207 M/604 H di kota Balkh, Afghanistan (dulu termasuk ke Persia Utara), Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Husin Al Khatihbi Al Bakri dilahirkan. Ayahnya bernama Bahaduddin Walad, seorang ulama besar bergelar Sulthanul Ulama atau Raja Ulama, yang ahli dalam ilmu agama, hukum, dan kebatinan serta masih keturunan dari Abu Bakar ash-Shiddiq. Sementara ibunya adalah Mu’mina Khatun yang berasal dari keluarga Kerajaan Khwarazm dengan silsilah yang masih bertemu dengan Ali bin Abi Thalib. Dari sini sudah sangat jelas bagaimana Jalaluddin Muhammad berasal dari keturunan keluarga yang terhormat dan berilmu tinggi.

Di usia 3 tahun, keluarga Jalaluddin Muhammad mendapat ancaman dari pasukan Mongol sehingga mereka pergi dari Balkh. Hidup berpindah-pindah, mereka pernah tinggal di Sinabur, Baghdad, Mekkah, Malattya, Laranda, hingga akhirnya menetap lama di Kota Konya, Turki. Di kota tersebut, sang Raja yang bernama Alauddin Kaiqubad mengangkat Bahaduddin Walad menjadi penasihat kerajaan sekaligus memimpin perguruan agama.

Karena menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota yang juga disebut Rum tersebut, Jalaluddin Muhammad akhirnya dikenal dengan nama beken “Rumi”. Ketika usianya 24 tahun, ayah Rumi wafat dan ia melanjutkan jejak beliau sebagai pengajar dan kepala perguruan agama. Guru bagi Jalaluddin Rumi, selain sang Ayah, adalah Burhanuddin Muhaqqiq yang masih merupakan murid ayahnya. Dari beliaulah, Rumi terus belajar tentang syariat dan tasawuf. Rumi juga berkelana mencari ilmu bahkan hingga ke Syam. Setelah Burhanuddin wafat sekitar tahun 1240 M, Rumi menjadi ulama dan ahli hukum Islam serta mampu berdakwah dan mengeluarkan fatwa di masjid-masjid Konya.

Menjadi Sufi yang Agung

Pertemuan Jalaluddin Rumi dengan seorang sufi pengelana bernama Syamsuddin Al-Tabrizi atau Syams Tabrizi merubah hidupnya. Ada banyak versi yang mengisahkan awal pertemuan mereka. Misalnya dalam buku terjemahan Dari Puncak Baghdad (2010) karya Tamim Anshari, suatu hari Syams Tabrizi masuk ke kelas tempat Rumi mengajar dengan pakaian compang-camping dan terus melantunkan nyanyian-nyanyian. Karena merasa terganggu dengan kehadirannya, murid-murid Rumi pun membawanya keluar kelas. Namun Rumi menghentikan mereka dan bertanya pada Syams Tabrizi, “Siapa kau dan apa yang kau inginkan?”

Syam Tabrizi menjawab, “Aku Syams-i Tabriz, dan aku datang untukmu”.

Mendengar itu, Rumi menutup buku-buku pelajarannya dan melepas seragam guru yang dikenakannya, lalu berucap, “Hari-hariku mengajar sudah berakhir, ini adalah guruku.” Sejak itulah ikatan spiritual keduanya dimulai.

Ada juga versi lain yang diriwayatkan oleh Mustafa Ghalib dalam buku Jalaluddin ar-Rumi (1982). Menurutnya, pertemuan Rumi dan Syams Tabrizi terjadi pada bulan Rajab 642 Hijriah atau 1244 Masehi. Saat itu Rumi sedang bersantai di sebuah tempat, lalu tiba-tiba seorang pria tua, yaitu Syams Tabrizi, menghampirinya dan mereka duduk bersebelahan. Rumi mengisahkan segala kegelisahan hatinya serta rasa penasarannya mengenai banyak hal.

Syams Tabrizi kemudian berkata padanya, “Aku adalah orang yang akan menunjukkan kepadamu apa yang kamu cari.” Sejak itu, Rumi mengajak Syam Tabrizi tinggal di rumahnya dan mereka menjadi tak terpisahkan.

Versi yang manapun, pada hakikatnya berkat Tabrizi-lah, Rumi di usia menginjak 48 tahun mulai hidup sebagai sufi, meninggalkan pekerjaannya sebagai guru, dan menggubah syair-syair puisi. Sufi sendiri, dalam Islam, adalah orang yang mendedikasikan dirinya dalam dunia Tasawuf, atau jalan untuk mendekat dan melekatkan hati hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan sekedar melalui aksi-aksi lahiriyah seperti memakai sorban, jubah, biji tasbih, atau memelihara jenggot, menggunakan tongkat, atau pun merubah narasi menjadi lebih islami di media sosial. Tasawuf adalah masalah kesungguhan dalam menyucikan jiwa demi mendekatkan diri kepada Tuhan dan ridha-Nya.

Jalaluddin Rumi begitu menghormati Syams Tabrizi, guru tasawufnya. Namun suatu ketika Tabrizi meninggalkan Rumi tanpa penjelasan kepadanya. Sebagai ungkapan kerinduannya kepada sang Guru, Rumi menulis sebuah buku berjudul Diwan Sham-i Tabriz.

Meski selanjutnya Rumi juga berguru pada sejumlah tokoh, Syams Tabrizi-lah guru yang membawanya bertransmisi menjadi penyair sufi mistik terbesar dalam sejarah dunia Islam. Berkat guru-gurunya tersebut, Jalaluddin Rumi mampu memperoleh sebutan kehormatan darimasyarakat Afghanistan, Iran dan Turki, dengan masing-masingnya “Mawlana”, “Mawlawi”, dan “Mevlana”.

Guratan Karya Rumi: Wujud Cintanya kepada Tuhan Yang Maha Esa

Bicara tentang penyair Persia, mereka adalah para ilmuwan besar pertama dan paling utama, bukan sekedar Shakespear versi Persia. Syair dan puisi Persia telah memiliki sejarah 2.500 tahun, namun jauh lebih maju bahkan dibandingkan puisi-puisi hari ini.

Ada fakta menarik yang pernah saya temukan di Quora. Orang-orang Iran rata-rata mempelajari literatur selama 12 tahun di sekolah dan kampus, namun sebagian besar dari mereka masih tidak dapat memahami tingkatan puisi Rumi. Mereka justru harus mengambil 10 tahun pendidikan lagi untuk dapat memahami karya-karya Rumi. Bahkan untuk puisi-puisinya yang paling sederhana, para guru literatur di sekolah dan kampus seringkali menghabiskan sampai sejumlah sesi untuk menginterpretasikan konsep mendalam di balik setiap puisi dalam buku pelajaran. Maka tak heran, penyair Persia seperti Jalaluddin Rumi dianggap setara dengan peraih Nobel hari ini.

Yang lebih wah lagi, meskipun karya-karya Rumi sesungguhnya merupakan karya sastra seorang sufi Islam yang sebagian besar ditulis dalam Bahasa Persia, karya-karya tersebut mampu melintasi batas-batas bahasa, agama dan budaya sehingga menjangkau orang-orang dari peradaban serta kebudayaan yang berbeda-beda. Karya Rumi disebut memiliki titik pertemuan dengan filsuf Yunani dan budaya China Kuno, serta berisi posisi yang disebutkan dalam Alkitab maupun Taurat dalam menyampaikan idenya.

Jalaluddin Rumi menumpahkan karyanya dalam bentuk-bentuk puisi, prosa, khotbah, hingga dialog. Di antara karyanya yang termasyhur, adalah Diwan Sham-i Tabriz yang sempat disinggung di atas, berisikan sajak-sajak pujian yang dipersembahkan untuk Syams Tabrizi, guru Rumi sendiri, dan terdiri dari 43.000 bait puisi. Kemudian ada Matsnawi-i-Ma`nawi (prosa lirik tentang makna-makna) yang menguraikan luasnya semangat kerohanian, perjalanan manusia menuju dunia dan kebenaran hakiki atau akhirat, serta mengkritik filsafat yang dianggap telah melampaui batas. Matsnawi-i-Ma`nawi terdiri dari 6 jilid dan diselesaikan dalam waktu yang sangat lama, yaitu 12 tahun.

Selain dua karya besar itu, ada juga Ruba’iyat (kumpulan sajak empat baris), Fihi maa Fihi (Inilah yang Sebenarnya—terj.), Makatib (kumpulan surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabatnya), dan Majalis Sab’ah (himpunan khutbah Rumi di masjid-masjid dan halakah keagamaan).

Saking agungnya, karya-karya Rumi yang telah berumur ratusan tahun itu pun banyak diperebutkan oleh negara-negara. Iran dan Turki misalnya, sempat berbarengan mengklaim Mathnawi Ma’nawi sebagai warisan budaya bersama yang didaftarkan ke United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2016. Afghanistan, yang merasa menjadi tempat kelahiran Jalaluddin Rumi, menolak hal tersebut dan menimbulkan debat diplomatik yang bahkan melibatkan kementerian luar negeri ketiga negara tersebut.

Mathnawi Ma’nawi sendiri memang diagungkan di seluruh kawasan yang berbahasa Persia, bahkan dianggap sebagai “Qur’an kedua” atau “Qur’an Persia”. Mathnawi Ma’nawi juga yang menjadikan Rumi sebagai pujangga paling banyak dibaca di Amerika Serikat di tahun 2014 hingga kemudian menarik perhatian Hollywood di tahun 2016 untuk membuat film mengenai kehidupan Rumi dengan diperankan oleh Leonardo Di Caprio (yang mana menjadi kontroversi dan banyak diprotes). Namun sejauh ini, sepertinya tidak ada kelanjutan atas rencana tersebut dan beritanya tidak lagi muncul di internet.

Karya-karya Jalaluddin Rumi adalah perwujudan sifat mahabah atau cintanya kepada Allah SWT. Mahabah dapat diartikan sebagai hubungan hati yang sejati dengan sang kekasih. Jauh melebihi kisah cinta yang pada umumnya kita temui di toko buku apalagi situs wattpad, cinta bagi Rumi adalah sifat ilahiyah dalam diri manusia yang tidak dapat didefinisikan. Bagi Rumi, cinta adalah apa yang Tuhan ciptakan pertama kali sebelum segala sesuatunya ada di muka bumi. Dengan kehadiran cinta, kehidupan terus berevolusi menjadi kehidupan yang lebih baik dan sempurna. Karena itulah cinta merupakan kekuatan kreatif paling dasar yang menyusup ke dalam setiap makhluk dan menghidupkan mereka. Bagi Jalaluddin Rumi sang Sufi, cinta adalah segala-galanya: alam semesta dan segala proses yang terjadi dalam kehidupan.

.....................................................

Seharusnya tulisan ini saya tutup dengan mengutip puisi favorit saya dari Jalaluddin Rumi, lebih-lebih yang bernuansa “cinta”. Tapi saya justru sangat kecantol dengan puisi Shabe Arust (Malam Pengantin) beliau. Bukan tentang pernikahan, puisi ini justru berkisah tentang kematian. Jalaluddin Rumi sendiri wafat pada 17 Desember 1273, dan hari tersebut dikenal sebagai “Malam Pengantin” yang bermakna hari yang menjadi gerbang bertemu dengan Sang Kekasih Hati. Dan inilah sepotong puisi Shabe Arust yang melegenda itu.

Ketika aku mati

Ketika keranda jenazahku dibawa keluar

Jangan pernah kau pikir aku akan merindui dunia ini.

 

Jangan kau titiskan airmata

Jangan kau mengeluh atau menyesal

Aku bukannya jatuh dalam jurang yang mengerikan.

 

Ketika kau melihat jenazahku diusung

Jangan kau tangisi kepergianku

Aku bukannya pergi

Aku baru tiba menemui cinta yang abadi.

....

Sumber:

Alizada, Bismellah. (2016). Who Was Jalaluddin Rumi, and Whose Rumi Is He?. Global Voices.

Fajrian. (2021). Jalaluddin Rumi, Sang Sufi 'Perajut' Syair dalam Syiar Islam. CNN Indonesia.

Lathief, Abdul. (2020). Syams Tabriz; Guru Spiritual Jalaluddin Rumi yang Paling Berpengaruh. Bincang Syariah.

Riadi. (2021). Shabe Arust, Malam Pengantin Jelang Kematian Jalaluddin Rumi. Ngopibareng.

 

Sumber Gambar:

mmegaconstrucciones

  423 Views    Likes  

Cetak Prestasi dengan Strategi Persiapan Ujian Terbaik

previous post

MASIH SEPI PEMINAT? INI DIA KEUNTUNGAN DARI MASUK JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN!
Cetak Prestasi dengan Strategi Persiapan Ujian Terbaik

next post

Cetak Prestasi dengan Strategi Persiapan Ujian Terbaik

related posts