Logical Fallacy : Debat Jangan Sesat

   

Apa yg dimaksud dengan logical fallacy?     Sederhananya, logical fallacy merupakan kesalahan logika berpikir seseorang yang diakibatkan penyampaian argumen yang salah atau bertele-tele. Logical fallacy kerap terjadi dalam diskusi sehari-hari, termasuk dalam dunia kerja. Nggak pakai lama lagi, langsung aja kita bahas teknik-teknik debat yang tidak sebaiknya kita lakukan, Cekidot! Appeal to Emotional

Ini sesat pikir yang pertama. Kayak namanya, pernyataan ini sesat karena orang itu “memanipulasi” perasaan kita. Seolah-olah kita jadi membenarkan suatu hal atau pernyataan karena perasaan kita merasa itu benar. Hayo, familiar nggak dengan keadaan itu? Nih, salah satu kalimat paling umum:

“Wah, kacau, sih, itu kalo sampe nggak kayak gitu. Pasti sedih banget nanti.”

Misalnya, ketika ada guru yang dianggap jago mengajar karena dekat dengan murid secara personal. Lalu, di suatu ujian, si guru ini bilang, “Boleh nyontek tapi jangan berisik ya.” beberapa hari kemudian, guru ini mendapat hukuman dari pihak sekolah. Nah, kalau udah begini biasanya banyak, tuh, orang-orang yang bilang, “Harusnya sekolah nggak ngasih hukuman sih. Dia, kan,guru asik, ngajarnya juga enak.”

Padahal yang dimaksud dengan “ngajar enak” ya karena dekat secara pertemanan aja. Pernyataan-pernyataan kayak gitu secara logika salah. Karena memang peraturan di sekolah tersebut, misalnya, setiap ujian dilarang nyontek. Tetapi si guru malah menganjurkannya, selama  gak ketahuan. Secara logika, seharusnya ini sederhana kan? Melanggar peraturan = mendapat sanksi.

Tapi, logika tersebut terkadang bisa “diserang” dengan memanfaatkan perasaan (emosi) kita. Ini lah yang dinamakan appeal to emotional.

 

Appeal to Authority

Kalau tadi kita dipaksa menyetujui karena diserang perasaannya, lain lagi sama sesat pikir appeal to authority ini. Dari namanya, kita bisa tahu kalau kita seolah-olah dipaksa tunduk karena pernyataan orang tersebut keluar dari mereka yang punya jabatan atau kedudukan yang lebih tinggi dari kita.

Atau dengan kata lain, pernyataan orang tersebut dianggap benar karena kita takut sama orangnya. Makanya, secara logika itu sebenarnya merupakan sesat pikir.

Misal: "Kelas kita tuh kelas paling keren! kata Kepala Sekolah sih gitu."

Nah, kalimat di atas itu logikanya salah karena landasan yang dia pakai adalah "kata Kepala Sekolah". Seolah-olah, dengan menggunakan kedudukan orang yang lebih tinggi, kalimat tersebut jadi benar.

Padahal, untuk menentukan "kelas paling keren" harus ada ukuran yang jelas. Mungkin dengan melihat nilai rata-rata kelasnya (kalau dia paling tinggi di antara semua kelas, berarti emang kelas paling keren), atau kelas itu paling banyak punya boy band kalau definisi "keren" adalah punya grup boy band, misalnya.

Strawman Fallacy

Bentar, apa, nih? Kok sesat pikir bawa-bawa strawman? Coba deh kamu ketik kata "strawman" di google, pasti muncul orang-orangan sawah. Apa hubungannya sesat pikir atau cacat logika dengan orang-orangan sawah?

Bayangin aja kamu punya musuh. Kemudian, kamu bikin orang-orangan sawah, lalu kamu kasih nama musuh kamu, dan kamu gebukin itu orang-orangan sawah sampai hancur.

Orang dengan sesat pikir strawman fallacy punya cara “mengubah argumen lawan” menjadi argumen baru, yang dia anggap argumen orang tersebut, untuk kemudian dia serang. Padahal argumen itu sama sekali gak pernah keluar dari orang itu. Makanya, si orang ini jadi kayak ngebuat “orang-orangan sawah” sebagai pengganti lawan bicaranya untuk kemudian dia serang.

Yah, bahasa gampangnya, sih, memelintir omongan orang untuk kemudian dia balas pakai bacotan lain gitu.

Red Herring

Makhluk apalagi ini? Tenang, tenang. Red herring, tuh, sebetulnya ikan merah yang baunya menyengat. Masuk ke dalam ranah sesat pikir ini karena dia suka dipakai untuk pengalih perhatian. Bayangin aja kamu lagi ngobrol, lalu tiba-tiba ada orang ngeluarin ikan bau dari dalam tas. Pasti arah pembicaraan tiba-tiba berubah.

Kalau strawman fallacy itu melintir omongan, ini lebih kayak ngeles aja. Kita ngomongin apa, eh dia malah bahas apa.

Misalnya kamu lagi video call sama temen, lalu muncul pembicaraan ini:

“Mumpung lagi di rumah terus, mau coba buka bisnis kecil-kecilan ah!”

“Halah. Kamu aja kerjaannya main hape terus, gimana mau buka bisnis coba.”

KENAPA JADI KE MAIN HAPE WEEEEY?

Nggak nyambung sodara-sodara. Kita ngomong apa, dia bahas apa.

Burden of Proof

Nah, sesat pikir yang terakhir ini cukup unik nih. Namanya burden of proof. Artinya apa? Beban pembuktian. Gini, gini. Nggak usah pusing mikirin namanya ya. Kayaknya banyak di antara kamu yang pernah mengalami ini deh. Karena eh karena, entah kenapa ada orang-orang di luar sana yang suka bikin makin ribet hidup kita.

Bayangin kamu baru selesai ujian, lalu salah ada murid lain nyamperin kamu.

“Eh, lo tadi nyontek kan. Ngaku aja lo!”

“Hah? Nggak nggak. Gue nggak nyontek. Apa coba buktinya gue nyontek?”

“Ya elo lah yang buktiin kalo lo nggak nyontek!”

DIA YANG NUDUH, KITA YANG DISURUH BUKTIIN, BAMBANG. Kenapa logika ini kacau? Ya, karena kita yang harus membuktikan kalau tuduhan dia itu salah. Logika yang benar, seharusnya dia yang memberikan bukti sesuai dengan tuduhannya. Misalnya: “Lo nyontek kan? Ngaku aja lo!”

“Nggak kok. Apa buktinya?”

“Tadi gue dikasih tahu Anto, lo ngelirik dia meja dia terus selama ujian.”

Nah, kalimat di atas secara logika benar (walaupun nggak tahu tuduhannya benar atau nggak. Nanti kita tanya Anto). Tapi, tolong, plis, tolong banget. Jangan ganti kata “nyontek” dengan hal-hal yang berbau percintaan kayak “kangen” atau “selingkuh”. Hasilnya bisa bahaya.

  524 Views    Likes  

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

previous post

Kenal Lebih Dekat Dengan Beasiswa OSC Medcom.id
Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

next post

Tips Belajar Efektif Ala Elon Musk

related posts