Pendahuluan
Wacana keagamaan selalu berkembang dari waktu ke waktu, seolah-olah tak pernah putus bahkan enggan untuk tidak mau ikut serta meramaikan pemikiran teologis maupun rasionalis yang ada. Tidak sedikit pula sejarah menarik dan mengerikan tercatat olehnya, dari perang pemikiran hingga perang secara fisik. Sering kali juga terjadi perang pengucilan, pengkafiran, kebencian bahkan pembunuhan (Patty, 2021:2). Hal itu tentu realita yang ada (das sein) dan telah menjadi sejarah wajah kelam agama. Seharusnya yang terjadi (das sollen) adalah agama menjadi jembatan penghubung antara perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Penting juga peran orang Kristen sebagai garam dan terang selayaknya yang diajarkan oleh Yesus Kristus dan hidup penuh “Kasih” (bnd. Mat. 5:13-16; 22:37-39). Panggilan Kristen itu adalah panggilan pembawa damai, pelaku kasih, sebagaimana Allah yang dikenal orang Kristen adalah Allah yang penuh kasih, sehingga wujud tindakan dan perilaku orang Kristen adalah didasarkan kasih dalam hubungannya antarumat beragama. Atas dasar sikap mengasihi itulah, maka orang Kristen terpanggil untuk menjunjung tinggi sikap toleransi, termasuk dalam hubungan antarumat beragama di bumi Pancasila dengan konteks keanekaragaman.
Sebagai negara dengan penduduk yang majemuk, Indonesia memiliki beragam agama yang dianut oleh warga negaranya, termasuk agama Kristen. Dalam hubungan antarumat beragama di Indonesia, penting untuk menghormati kepercayaan agama masing-masing dan menghargai perbedaan tersebut. Agama tidak seyogianya dipahami sebagai official closed corpus (kumpulan resmi yang tertutup), melainkan harus membuka diri dalam perbedaan hingga pada klimaks memahami kepelbagaian sebagai suatu keniscayaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Pada akhirnya, seluruh umat beragama hidup damai dalam bumi Nusantara yang berlandaskan Pancasila.
Memaknai Panggilan Kristen
Kata panggilan, memanggil atau dipanggil merupakan kata yang berulang-ulang disebut baik dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kata “Panggilan” dalam Alkitab baik sebagai kata kerja, kata benda dan kata sifat muncul 700 kali (Farrer, 1995: 196). Angka ini menunjukkan bahwa kata panggilan akrab dalam Alkitab dan memiliki peran yang sangat penting untuk kita ketahui dan gumuli. Kata panggilan dalam bahasa Ibrani ar’îq' (qara) dan bahasa Yunani klesis dari asal kata kaleo yang artinya “saya memanggil”. Bentuk pasifnya dipanggil atau kaleisthai. Kata “Panggilan” (vocation) melahirkan sebuah pertanyaaan bagi kita, siapa yang memanggil (caller), siapa yang dipanggil (callee) dan untuk apa serta mengapa seseorang dipanggil? Bila kita hubungkan dengan pemanggilan Allah dalam Alkitab, nyata bahwa pemanggil (caller) adalah Allah. Panggilan itu adalah inisiatif Allah dan Allah bebas untuk menentukan alamat panggilannya (Sipayung, 2020: 40).
Melihat Kisah Pemanggilan dalam Alkitab
Tuhan memanggil Abraham yang pada hakekatnya bukanlah sosok pahlawan dalam pengertian jasmani ataupun rohani, bukan pula orang yang baik, orang benar, bahkan bukan pula sosok yang seorang bijaksana, melainkan hanya orang biasa saja (ordinary people) bahkan orang yang memiliki kelemahan dan dosa (Barth, 1984: 93). Sama halnya dengan pemanggilan murid-murid Yesus, misalnya Petrus dan Andreas adalah sosok nelayan yang sederhana dan bersahaja (Mat. 4:16-19); Matius adalah seorang pemungut cukai yang dibenci masyarakat (Mat. 9:9); Paulus adalah penghujat, penganiaya dan seorang yang ganas terhadap jemaat Kristen (bnd. Flp. 3:6; 1 Tim. 1:13), namun Tuhan memiliki sifat yang bebas untuk memanggil mereka menjadi murid, saksi dan sebagai perutusan untuk menyaksikan pekerjaan-pekerjaan Allah semakin nyata di dunia ini. Yesus memakai dan mentransformasi mereka menjadi sosok yang luar biasa (extra-ordinary people). Tujuannya adalah agar perbuatan-perbuatan Allah semakin dinyatakan (Sipayung, 2020: 40). Di sini nyata bagi kita, bahwa Allah bebas dalam keputusan-Nya untuk memilih dan memanggil setiap manusia menjadi saksi-Nya.
Memahami Agama Perspektif Sosiologis
Dalam perspektif sosiologis, agama dipahami secara empiris dan objektif. Secara empiris, berarti agama dianalisis berdasarkan data dan pengalaman konkret dan secara objektif, agama dibedah menurut apa adanya, bukan menurut apa yang seharusnya. Pada dasarnya agama bersifat sangat pribadi dan secara umum disegani manusia, sehingga kadang kala sulit untuk dianalisis secara sosiologis. Tetapi dalam perspektif sosiologis, agama dilihat sebagai sesuatu yang memusatkan perhatian pada manusia yang mempraktikkan kehidupan beragamanya itu (Raho, 2013: 2-3). Maksudnya dalam hal ini, sesuatu yang tampak dalam kehidupan sosial sehari-hari dalam masyarakat. Itu sebabnya, meskipun agama bersifat pribadi, tetapi tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial. Dalam relasi antarumat beragama, tidak seyogianya menjadikan agama sebagai legitimasi untuk membenarkan segala macam bentuk tindakan, perilaku atau praktik-praktik yang ada dalam masyarakat ataupun dalam kelompok sosial (Raho, 2013: 80). Akan mengerikan apabila segala tindakan yang dilakukan suatu kelompok sosial dalam masyarakat yang bersumber dari agama dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Agama dalam Perjuangan Kaum Tertindas
Dalam realisme-historis menunjukkan bahwa sejumlah tokoh suci/nabi yang membawa agama justru datang dari kalangan masyarakat lama yang terperas dan tertindas. Orang-orang seperti Musa, Yesus, dan Muhammad telah dikenal begitu luas sebagai tonggak utama dari gerakan pembelaan terhadap kelas-kelas, masyarakat yang tertindas, suku-suku yang terhina dan kelompok-kelompok yang semakin terdesak ke pinggir. Mereka bukan hanya mengorbankan harta benda tetapi juga jiwa raga. Dalam konteks penderitaan umat manusia, agama kemudian menyuguhkan ajaran cinta kasih sebagai fondasi untuk melawan kegetiran, kekerasan dan penderitaan hidup (Wakano, 2009: 220).
Orang Kristen di Tengah-tengah Pluralitas
Pelayanan Yesus mempunyai arti yang universal yaitu di dalam Yohanes 3:16, bahwa Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia dan Yesus juga adalah Juru Selamat dunia (Yoh 4:42). Dapat dilihat bahwa pelayanan Yesus tidak terikat kepada batasan apapun baik itu bangsa-bangsa, kebiasaan dan keagamaan. Ia datang kepada semua orang yang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda bahkan sampai orang yang dianggap hina sekalipun. Ia juga menyelamatkan pemungut cukai dan orang berdosa (Mat 9:9-13). Perempuan pelacur seperti perempuan Samaria yang tidak lepas dari Kasih-nya atau orang-orang yang berdosa tidak dianggap-Nya rendah, justru merekalah yang ditolong-Nya dan dikasihi-Nya (Kirk, 2012: 74). Banyak sekali Yesus bertemu dengan orang luar Yahudi di dalam pekabaran Injil bahkan sampai juga kepada perempuan Siro-Penesia. Yesus menyembuhkan orang sakit dan penuh dengan janji Allah sampai kepada bangsa-bangsa lain (non-Yahudi) (Kuiper, 2008: 37-37).
Kemajemukan mesti diterima sebagai keniscayaan tanpa harus ada klaim kebenaran mutlak dari salah satu pihak. Pluralitas adalah kehendak Allah. Kitab Suci orang Kristen menegaskan bahwa Allah melihat kepelbagaian ciptaan sebagai yang baik (Kej. 1:31). Menyangkal dan menolak pluralitas atau multikultural merupakan sikap antisosial dan tindakan kontraproduktif. (Timo, 2017, 174). Oleh sebab itu, eksistensi orang Kristen di tengah-tengah kepelbagaian ini adalah menerima dalam ucapan syukur sebagai berkat Tuhan dan melihatnya sebagai peluang untuk semakin membangun kerjasama yang semakin luas dengan orang-orang lain yang berlatar belakang berbeda, guna menghadirkan “Shalom Allah” di tengah-tengah dunia ini.
Panggilan Kristen di Bumi Pancasila
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dalam budaya, sosial, politik, agama serta kepercayaan dan itulah pula yang hendak diungkapkan dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika” atau berbeda-beda namun satu (unity in diversity = kesatuan dalam kepelbagaian). Ajaran-ajaran dan doktrin agama bukan untuk maksud pembenaran diri atau kelompok yang bermuara pada fanatisme agama. Ajaran setiap agama itu diberikan agar manusia dapat mengelola hidupnya secara lebih baik untuk memuliakan Allah (Tanja, 1994:22-23).
Nilai-nilai Pancasila jika dikaji, sejalan dengan nilai-nilai dalam Alkitab, yakni:
Sila Pertama, TUHAN yang Esa
Alkitab juga menegaskan akan Tuhan Allah Yang Esa. Kitab Ulangan berisi hukum yang dibangun atas dasar kepercayaan terhadap Tuhan Allah yang Esa, yang berbunyi: Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6:4-5)
Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pancasila dan Kemanusiaan di Mata Allah (Imamat 19:13-18). Perikop Imamat 19:13-18 adalah salah satu peraturan dan hukum yang ditetapkan Allah agar orang memperlakukan orang lain secara manusiawi, adil dan beradab.
Sila Ketiga, Persatuan
Pancasila dan Bersatu dalam Kasih Allah (Yesaya 11:1-10). Perikop untuk bahan perenungan Persatuan Indonesia secara Alkitabiah adalah nubuat Nabi Yesaya 11:1-10. Perikop ini berbicara tentang mimpi zaman mesianis yang wujudnya adalah sebuah Kerajaan Damai. Dalam Kerajaan Damai ini unsur-unsur persatuan dan keharmonisan sebuah bangsa tampak secara jelas dan nyata.
Sila Keempat, Hikmat Kebijaksanaan
Pancasila dan Hikmat Kebijaksanaan Allah (Kis 15:1-21). Sila keempat Pancasila menyinggung aspek kepemimpinan. Menurut sila keempat, kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan kerakyatan yang didasarkan pada hikmat kebijaksanaan dan yang mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan bersama. Dengan landasan hikmat dan musyawarah, kepemimpinan yang ada, dapat melahirkan kebaikan bagi seluruh masyarakat. Salah satu kisah Alkitab yang mencerminkan perwujudan sila keempat adalah Sidang Yerusalem (konsili pertama dalam gereja) dalam Kisah Para Rasul 15:1-21. Kisah ini memenuhi unsur-unsur yang menyusun sila keempat.
Sila Kelima, Keadilan Sosial
Pancasila dan Keadilan Sosialdalam Amsal 21:3; 29:4, “Melakukan kebenaran dan keadilan lebih dikenan TUHAN daripada korban; Dengan keadilan seorang raja akan menegakkan negerinya, tetapi orang yang memungut banyak pajak akan meruntuhkannya”. Nilai keadilan dalam sila kelima sangat jelas dalam Alkitab.
Isi dari Pancasila adalah sejalan dengan Alkitab, sehingga tidak ada alasan bagi orang Kristen untuk menolak Pancasila sebagai Dasar Negara. Orang Kristen tidak seyogianya terikut dengan kelompok separatis yang menyusup dalam tubuh agama yang berupaya menggeser kedudukan Pancasila dengan ideologi berbasis keagamaan, bahkan berupa menggoncang kedaulatan RI dengan upaya mendirikan negara atas dasar keagamaan tertentu. Biarlah Pancasila tetap abadi dan orang Kristen terpanggil untuk mewujudkannya melalui teamwork antara sesama Kristen (gereja), antarumat beragama, maupun umat beragama dengan pemerintah.Biarlah keberagaman di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini terjaga dengan dengan baik, sebab Allah tidak membedakan orang dari suku bangsa manapun (bnd. Kis. 10:34-35)
Penutup
Panggilan orang Kristen adalah panggilan untuk menjadi berkat bagi orang lain dengan menghadirkan “Shalom Allah” di tengah-tengah dunia ini. Panggilan ini adalah bersumber dari Allah sendiri di dalam Yesus Kristus dan yang telah mencurahkan Roh Kudus untuk menguatkan orang Kristen dalam memenuhi panggilannya itu. Panggilan Kristen adalah untuk menjadi berkat bagi semua orang, termasuk yang berbeda agama sekalipun. Pada dasarnya orang Kristen dengan tanpa terkecuali dipanggil Tuhan untuk masuk ke dalam panggilan kekudusan (1 Tes. 4:7), kemerdekaan (Gal. 5:13), pengharapan (Ef. 1:18; 4:4), pelayanan pendamaian (2 Kor. 5:18-19) sesuai dengan rencana Allah (Rom. 8:28).
Agama sejatinya hadir untuk membuat kehidupan lebih baik dan teratur, sehingga manfaat agama bisa dirasakan oleh publik menjadi bonum commune (kebaikan bersama). Oleh sebab itu, umat beragama termasuk orang Kristen mesti mencerminkan nilai-nilai agama yang berkenaan untuk perbaikan kehidupan dan pengimplementasian nilai-nilai kemanusiaan (humanity). Setiap orang tentu memiliki panggilan untuk memenuhi nilai-nilai keagamaannya. Lebih jauh lagi, memaknai hubungan antarumat beragama bukan sekedar menghargai perbedaan keyakinan dalam agama-agama yang ada, tetapi juga ketika mampu membangun kerjasama, guna penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan dan kerjasama dalam menyelesaikan masalah dalam berbagai aspek kehidupan (masalah global). Dalam Kisah Para Rasul 10:34-35 disebutkan “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran, berkenan kepada-Nya.
Daftar Pustaka
Barth, C., (1984). Teologia Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Farrer, M. R. W., (1995). “Panggilan”, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Kirk, Andrew. (2012). Apa Itu Misi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kuiper, Arie De. (2008). Missiologia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Patty, Albertus M., (2021). Moderasi Beragama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Raho, Bernard. (2013). Agama dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Obor.
Sipayung, Jon Riahman. (2020). Tema-tema Kontemporer. Medan: CV Sinarta.
Tanja, Victor I., (1994). Spiritual, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.Timo, Ebenhaizer I. Nuban. (2017). Menghari-inikan Injil di Bumi Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Wakano, Abidin. (2009). (2009). Kebebasan Beragama. HAM dan Komitmen Kebangsaan. Jakarta: PGI.
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan