Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya akan budaya nya. Masyarakat yang majemuk di Indonesia menjadi salah satu alasan Indonesia memiliki berbagai macam adat istiadat dan seni budaya. Di antara banyaknya seni budaya itu, ada budaya wayang dan seni perdalangan yang bertahan dari masa ke masa . Wayang telah ada, tumbuh, dan berkembang sejak lama hingga kini, melintasi perjalanan panjang historis Indonesia. Tapi tahukah kalian, wayang tertua yang ada di Indonesia ??? Nah, pada kesempatan kali ini, kita akan membahas wayang tertua yang ada di Indonesia.
Wayang kulit yang pertama adalah Wayang Beber. Wayang Beber adalah salah satu wayang tertua yang ada di Indonesia. Nama Beber tersebut diambil dari cara memainkannya yaitu dengan cara membeberkan atau dibentangkan.
Dalam Serat Centhini, wayang beber muncul pada zaman Raja Surya Hamiluhur di Jenggala pada tahun 1129 Saka atau tahun Candra 1166. Ketika itu, sang raja memindahkan Kerajaan Jenggala ke Pajajaran dengan gelar Prabu Maesatandreman. Sang raja ingin menggubah gambar wayang purwa serta membuat gambar lakon Jenggala, dan gambar tadi dilukis di atas kertas kulit kayu dari Ponorogo dengan dibingkai kayu di kanan kirinya untuk menggulung.
Selanjutnya pada tahun 1242 Saka, Prabu Bratana atau Raden Jakasusuruh di Majapahit bermaksud untuk mengubah wayang tadi digambar pada kertas jawa, yaitu dengan menyimpan wayang dengan digulung dan apabila hendak dipertontonkan dibuka dari sisi mana yang akan diceritakan, dan wayang itu disebut wayang beber. Pertunjukan wayang beber apabila dilakukan di keraton diiringi dengan gamelan laras slendro, tetapi jika dipertunjukkan di luar keraton diiringi rebab yang dimainkan oleh dalangnya sendiri. Pada saat itu, wayang beber dipentaskan menyertai upacara murwakala dan kaulan.
Sumber lain didapat informasi bahwa berdasar catatan ekspidisi cendekiawan Cina Ma Huan, wayang beber sudah ada pada abad XV M, ketika itu ia mengikuti pelayaran armada Kaisar Yung Lo ke selatan dan singgah di Majapahit. Ia menyaksikan pertunjukan wayang beber dan membuat catatan yang dimuat di pustaka Ying-Yai Sheng Lan. Dalam catatan itu diuraikan teknik pertunjukannya dengan cara membentangkan gulungan kertas yang memuat adegan gambar menghadap penonton. Selanjutnya, dalang menceritakan adegan gambar secara runtut sampai akhir lakon.
Sedangkan menurut Serat Sastramiruda karya Kusumadilaga, wayang beber muncul pada abad XIV Masehi pada awal Kerajaan Majapahit, dan merupakan kesenian keraton. Pementasannya diiringi gamelan laras slendro. Pada zaman Brawijaya wayang beber disempurnakan dengan menggunakan cat berbagai warna. Ketika zaman Demak, wayang beber purwa repertoarnya yang semula mengambil dari Mahabharata, dialihkan sumber ceritanya yaitu dengan mengambil dari karya lokal yaitu Serat Panji. Menurut tradisi lisan wayang beber gedog dibuat oleh Sunan Bonang.
Saat ini masih tersisa dua jenis wayang beber yang dianggap tua dan orisinal. Pertama dimiliki oleh keluarga Sarnen Gunacarita dari Desa Karangtalun, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dengan cerita Jaka Kembang Kuning. Kedua wayang beber yang dimiliki keluarga Sapar Kramasentana dari Desa Gelaran, Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul Gulungan wayangnya berisi cerita tentang Remeng Mangunjaya. Kedua wayang beber baik di Karangtalun maupun di Gelaran diperkirakan telah dibuat pada abad XVII dan XVIII, dan mengalami kejayaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur sampai pada abad XVIII.
Wayang beber Karangtalun hanya dipentaskan untuk keperluan ritual seperti upacara ruwatan, kaulan dan nadaran. Pertunjukan ini diiringi oleh gamelan slendro dengan instrumen: rebab, kethuk, kenong, kempul, kendhang, dan gong. Durasi pertunjukan menurut Sapar Kramasentana berlangsung selama satu hingga satu setengah jam. Ada pantangan, selama bulan Puasa tidak diperbolehkan melakukan wayang beber. Pertunjukan wayang beber biasanya diselenggarakan di ruang terbuka atau tertutup pada siang hari atau malam hari dengan sesaji lengkap. Menurut catatan H.Kern (1929), bahwa dalang wayang beber Pacitan merupakan keturunan lurus dari Naladerma yang menurunkan Nala, Sanala, Nayangsa, Trunadangsa, Gandalesana, Sutralesana, Gandalesana, dan Gunakarya. Dalang mulai dekade 1980 adalah anak Gunakarya yakni Sarnen Gunacarita.
Kelangsungan pertunjukan wayang beber terhambat karena hanya keturunan keluarga Pak Sarnen yang dapat mewarisinya. Itu juga harus diberikan secara pribadi dalam tradisi lisan yang ketat. Orang di luar garis keluarga yang tertarik mempelajari teknik pementasan wayang beber tertutup lebih cenderung mempelajari teknik pementasannya. Akibatnya, keberadaan wayang beber ini terancam punah. Selain itu, rendahnya apresiasi masyarakat karena pertunjukan wayang beber untuk kekinian kurang diminati oleh para penggemar wayang.
Kita sebagai generasi muda Indonesia sudah sepatutnya untuk melestarikan kebudayaan wayang beber ini agar keberadaannya tidak punah. Cukup dengan mengetahui keberadaannya dan jikalau bisa yaitu dengan mempelajari dan memainkan seni wayang dan perdalangan agar budaya ini masih dapat dilihat oleh generasi-generasi selanjutnya.
Sumber : Ensiklopedi Wayang Indonesia Edisi Revisi (2017)
previous post
Jadi Mahasiswa Aktif : Tips Sukses di Perkuliahan