Yuk, Menilik Budaya Masyarakat dan Mahasiswa Negeri Beruang Merah, Rusia!

 

 

Hi, Sobat OSC!

Seperti yang kita semua tahu, kebudayaan merupakan salah satu hal yang tidak akan bisa terlepas dari hakikat kehidupan manusia. Tanpa kita sadari, kebudayaan membangun bagaimana seorang individu atau sekelompok manusia bertindak, berpikir, dan berkarya dalam kehidupan. Di seluruh penjuru bumi, bahkan dalam kawasan terkecil sekalipun, masyarakat membangun corak kebudayaannya sendiri, mungkin bisa saja serupa atau bahkan berbeda. Penting bagi manusia untuk memperkaya wawasan mengenai keragaman budaya. Dengan pengetahuan akan hal tersebut, manusia diharapkan mampu beradaptasi dengan baik dimanapun mereka berada. Menyesuaikan diri dengan gaya hidup, pola pikir, bahasa, makanan, dan lain sebagainya.

Rusia menjadi salah satu negara yang terletak di benua Eropa yang menarik perhatian dunia. Negara terluas di dunia dengan Moscow sebagai ibukota negara menyita atensi dengan banyak destinasi alam yang memukau dan kebudayaannya yang unik. Banyak orang yang bertanya-tanya dan penasaran mengenai bagaimana budaya hidup masyarakat. Termasuk dari kalangan mahasiswa sekalipun. Apakah kamu salah satunya, sobat OSC?

Nah, oleh karena itulah mari kita mengupas lebih jauh budaya hidup masyarakat dan mahasiswa di Rusia berdasarkan informasi dari wawancara bersama narasumber yang pernah berkuliah di Rusia yaitu Vionica Yolanda.

Vionica Yolanda, gadis berusia 20 tahun ini sempat menempuh pendidikan tinggi jurusan ekonomi bisnis internasional di Southern Federal University yang berlokasi di Rostov on Don, Rusia bagian Selatan selama kurun waktu 2 tahun dari tahun 2018 – 2020. Perempuan kelahiran Kota Prabumulih, Sumatera Selatan membagikan pengalaman dan insight yang ia peroleh selama berkuliah di Rusia dan perbedaannya dengan kebudayaan Indonesia.

Menurut dirinya, hal pertama yang paling mencolok adalah bagaimana cara masyarakat Rusia memperlakukan orang di sekitarnya. How Russian treat the people. Masyarakat Rusia pada umumnya bersikap dingin dan jarang tersenyum. Hal ini tentu sangat kontras dengan masyarakat Indonesia yang terkenal akan keramahtamahan dan murah senyumnya. Di Rusia, bertegur sapa dan tersenyum kepada orang asing yang anda temui di jalan sebagaimana yang sering dilakukan masyarakat Indonesia merupakan suatu bentuk pelecehan. Dirinya juga membagikan bahwasanya ada suatu tingkatan/stage dalam hubungan antara individu di Rusia yang mengatur mengenai apa yang dapat anda bahas dan tanyakan terhadap orang tersebut. Misalnya ketika anda baru berteman selama 1 bulan, anda hanya dapat menanyakan hal yang sangat umum dan terbatas seperti nama dan identitas formal lain dengan ruang lingkup yang sangat terbatas. Di bulan-bulan berikutnya, ketika anda menjadi semakin dekat dengan mereka, anda diperbolehkan menanyakan sesuatu yang lebih pribadi seperti alamat dan jumlah anggota keluarga.

Kedua, berbeda halnya dengan Indonesia yang masih sangat lekat dan memperhatikan norma keagamaan dan kesusilaan yang berlaku, hubungan lawan jenis di Rusia pada tahap pacaran tergolong negatif. Bagi masyarakat Rusia, tinggal satu atap dengan lawan jenis  yang belum menikah merupakan sesuatu yang normal. Rusia melegalkan seks bebas. Hal ini tentu saja sangat tabu dan tidak sesuai dengan norma kesusilaan dan budaya yang mengakar dalam kehidupan  masyarakat Indonesia.

Ketiga, masyarakat Rusia tidak tertarik untuk ikut campur dalam kehidupan orang lain. Do your own bussiness. Mereka sangat memperhatikan privasi. Begitupula sebaliknya, mereka merasa tak perlu mengurusi kehidupan pribadi orang lain. Misalnya ketika berkumpul bersama, orang Rusia merasa tidak nyaman membicarakan mengenai orang lain, baik hal tersebut sesuatu yang baik seperti pencapaian/prestasi maupun sesuatu yang memalukan dan buruk seperti aib. Namun, kita tidak dapat mencap masyarakat Rusia sebagai sosok yang individualistis. Berdasarkan penuturan narasumber, masyarakat Rusia sangat peduli dan suka menolong sesama. Misalnya ketika dirinya sedang sakit, teman-teman sekampusnya yang mayoritas berkewarganegaraan Rusia tak segan-segan bertanya mengenai keadaan dan menolong dirinya.

Keempat, ketika berkomunikasi dengan orang lain, mereka langsung menyasar topik utama pembicaraan tanpa adanya basa-basi. Straight to the point. Vionica membagikan pengalamannya ketika hendak mengajak temannya pulang ke asrama bersama, namun dirinya mengawali pembicaraan tersebut dengan pertanyaan yang dirasa orang Rusia tidak diperlukan seperti “Apakah kamu sibuk?”, “Apakah kamu akan pergi ke tengah kota?”, “Jam berapa kamu akan pulang?”, dan lain sebagainya yang kemudian direspon orang tersebut dengan berkata “Vionica, kamu mau pulang bersamaku? Lantas, jikalau begitu mengapa menanyakan sesuatu seperti tadi. Langsung saja katakan kamu hendak mengajakku pulang bersama ke asrama.” Vionica juga menambahkan bahwa dengan berkata to the point selayaknya orang Rusia pada umumnya, pihak-pihak yang berkomunikasi dapat terhindar dari miskomunikasi yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman.

Dalam dunia perkuliahan sendiri, Vionica menuturkan bahwa orang Rusia sangatlah kompetitif. Mereka tidak segan bersaing secara sehat dalam bidang akademik di dalam kelas, namun saat di luar kelas, mereka berteman seperti biasanya. Melupakan betapa sengitnya mereka bersaing di kelas. Selain itu, kehidupan mereka sangat kental dengan budaya literasi dan membaca. Dirinya mengakui ketika dia tidak memahami penjelasan dosen di kelas, teman-temannya yang kebanyakan orang Rusia bertanya, “Vionica, kamu tidak mengetahui materi ini? Apa kamu sebelumnya belum membaca buku paket A halaman XXX?”. Ini sangat berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat rendah perhatiannya terhadap literasi dan minat membaca.

Tugas perkuliahannya juga banyak, namun berbeda dari Indonesia yang mayoritasnya memberikan tugas berupa makalah atau paper, dosen cenderung memberikan tugas yang melatih kemampuan softskill mahasiswa seperti berdiskusi, saling bertukar pendapat dan pandangan, dan menyajikan presentasi di kelas dengan atau tanpa alat bantu.

Untuk gaya hidup, dirinya mengakui bahwa orang Rusia sangat care terhadap kesehatan mereka. Jarang sekali dirinya menemukan makanan yang digoreng dengan kandungan lemak jenuh yang tinggi. Kebanyakan diolah dengan dipanggang atau direbus. Selain itu, teman-temannya orang Rusia sering mengajak berolahraga bersama setiap minggu seperti bermain bulu tangkis, basket, jogging, dan bersepeda. Tak heran bila kebanyakan masyarakat Rusia memiliki tubuh yang sangat atletis. Hal ini juga didukung dengan fasilitas olahraga lengkap yang disediakan di seluruh penjuru kota bahkan dalam lingkungan perguruan tinggi sekalipun. Perempuan kelahiran tahun 2000 itu juga mengungkapkan bahwa untuk berenang di kolam berenang yang berada di gedung fakultasnya, diperlukan lisensi bebas dari penyakit kulit yang menular. Akibat gaya hidup sehat inilah, masyarakat Rusia memiliki usia harapan hidup yang lebih tinggi. Para lansia sekalipun terlihat sangat bugar, bahkan bisa berjalan kaki hingga mencapai 3 – 5 km tanpa mengalami kendala kesehatan yang berarti.

Dari segi transportasi, ia menuturkan belum pernah menemukan adanya motor di negara tersebut. Namun untuk moda transportasi publik, kualitasnya sangat memadai dan jenisnya amatlah beragam. Oleh karena itulah, masyarakat Rusia cenderung menggunakan kendaraan transportasi publik atau berjalan kaki dibandingkan memakai kendaraan milik pribadi.

Bagian yang paling menarik adalah mengenai pola pikir masyarakat Rusia yang cenderung pekerja keras dan cermat. Mereka sangat baik dalam memanajemen waktu. Hal yang ditekankan Vionica dalam bagian ini adalah pembahasan mengenai work smart-nya. Ia mengungkapkan ada satu dosennya yang memiliki tiga pekerjaan sekaligus. Beliau berprofesi sebagai dosen bahasa Rusia, bahasa Inggris, dan sekretaris di suatu perusahaan terkenal. Dosennya ini membeberkan bahwa dirinya  tidak merasa kesulitan melakukan ketiganya sebab dia memiliki manajemen waktu yang baik. Senin sampai jumat bekerja sebagai sekretaris. Kemudian di hari sabtu dan minggu pagi selama 3 jam bekerja sebagai dosen di universitas. Sisa waktunya dapat dia habiskan untuk menikmati akhir pekan, berkeliling kota.

Selain itu, mereka sangatlah beriorientasi tinggi terhadap ketepatan waktu. Jika Indonesia terkenal akan masyarakatnya yang kurang disiplin dan seringkali terlambat, maka berbeda halnya dengan Rusia. Salah satu dosennya di universitas datang satu jam lebih awal dari waktunya mengajar hanya untuk memastikan semua mahasiswanya sudah diabsen dengan baik. Beliau menuturkan, “Bagaimana bisa saya meminta mahasiswa saya datang tepat waktu, sementara saya sendiri sebagai dosen kalian datang terlambat (ke kampus)?”

Kemudian, ia menuturkan bahwa masyarakat Rusia sangat menghargai sesuatu. Mereka memberikan apresiasi yang tinggi terhadap segala sesuatu. Bahkan ketika dirinya berhasil membaca satu baris kalimat berbahasa Rusia dengan terbata-bata, mereka tak segan-segan memberikan pujian, “Wah, Vionica! Kamu pintar sekali berbahasa Rusia sekarang. Selamat!”. Atau ketika dirinya mengenakan pakaian dan jilbab dengan paduan warna yang serasi, dosennya tidak segan melontarkan pujian “Vionica, hari ini kerudung dan pakaian kamu sangat serasi. Cantik sekali!” yang membuat hati siapapun hangat mendengarnya.

Hal lain yang sangat berbeda dari masyarakat Indonesia adalah percaya atau tidak, masyarakat Rusia tidak memiliki standar fisik/kecantikan/ketampanan yang relevan. Menurut mereka, siapapun bisa menjadi menarik dengan cara mereka sendiri. Jika kini masyarakat Indonesia menganut keyakinan mengenai adanya beauty privileges dengan standar berkulit putih, bertubuh tinggi dan ramping, berwajah mulus tanpa jerawat, dan berambut panjang, orang Rusia justru merasa aneh dan tidak memahami hal tersebut. Orang Rusia cenderung menaruh ketertarikan kepada individu bukan berpatokan pada fisiknya saja, namun lebih ke bagaimana cara pandangnya, bagaimana dirinya menyikapi permasalahan, dan bagaimana percakapan/diskusi dapat berlangsung dengan baik dengan orang tersebut. Kak Vio mengungkap dirinya yang seringkali tidak percaya diri dengan penampilannya merasa takjub dengan bagaimana teman-temannya yang berasal dari Rusia memandang dirinya. “Vionica, kamu itu cantik. Lihat bagaimana pintarnya kamu, bagaimana kamu berdiskusi, bagaimana kamu berpikir. Itulah yang membuatmu memikat. Jikapun dilihat dari fisik, kamu memiliki mata coklat yang menawan (karena mayoritas orang Rusia memiliki corak iris berwarna hazel, biru, dan hijau), gigi yang rata dan rapi, serta kulit sawo matang yang indah. Untuk apa merasa malu terhadap diri sendiri?”

Hal penting lainnya yang perlu disoroti adalah dirinya tidak pernah mendapatkan perilaku rasis dan diskriminatif karena dirinya memiliki ras Asia dan kerudung yang ia kenakan. Di Rusia sendiri, ia mengungkapkan bahwa Islam menjadi agama terbesar kedua setelah kristen ortodoks sehingga melihat wanita-wanita berkerudung berlalu-lalang di perkotaan bukanlah sesuatu yang aneh disana. Hanya saja, dirinya perlu menjelaskan kepada teman-temannya mengenai hal tertentu. Misalnya ketika dijamu teman-temannya, ia menyatakan tidak bisa mengonsumsi daging babi. Teman-temannya bertanya mengapa dan ia menjelaskan ini merupakan perintah agama. Atau ketika mendapat ajakan untuk meminum bir dan pergi ke club, ia menjelaskan bahwa ia dilarang melakukan tersebut. Toleransi mereka tinggi.

Sayangnya, iklim negara yang sebagian besar berada mendekati Artik ini sangatlah dingin. Musim panas hanya berlangsung paling lama 3 bulan dalam satu tahun, namun suhu dapat mencapai titik 50oC. Sedangkan musim dingin yang berlangsung hampir sepanjang tahun dapat menyentuh titik terendah -30oC. Bagi Vionica, ketidaksesuaian iklim dan ketahanan tubuhnya lah yang menjadi masalah utama dan terbesar selama dia berkuliah di Rusia.  

Di akhir cerita, Vionica menuturkan bahwa mengenal dan mendalami budaya Rusia selama 2 tahun memberikannya banyak pelajaran dan insight yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Ia belajar banyak mengenai bagaimana masyarakat di negara maju seperti Rusia berpikir dan mengolah kehidupannya. Ia mengadopsi budaya Rusia, selama hal tersebut baik dan tidak melanggar norma dan aturan yang berlaku di masyarakat Indonesia. Menurutnya hal tersebut tidaklah menjadi masalah karena budaya yang baik bisa menjadi teladan/contoh yang konkret.

Tak lupa, dirinya memberikan tips dan trik bagaimana cara menyesuaikan diri di lingkaran kehidupan dengan kebudayaan yang berbeda agar tidak terjadi culture shock. Menurutnya, hal pertama yang bisa dilakukan adalah berlakulah sebagaimana Orang Rusia berlaku disana. When in Rome, do as the Romans. Dengan catatan khusus, tetaplah dibutuhkan pertimbangan mengenai baik dan buruknya hal tersebut. Jika melanggar norma keagamaan dan prinsip kesusilaan yang dianut dan menjadi identitas bangsa Indonesia, anda tidak dapat mengadaptasi hal tersebut dalam kehidupan anda. Ada baiknya sebelum nerkunjung ke suatu tempat, pelajarilah budaya mereka terlebih. Mengenal dasar tata krama dan etika sosial disana. Dengan begitu, tidak akan terjadi culture shock dan kita dapat beradaptasi dimanapun dan kapanpun dengan baik.

Seperti salah satu peribahasa terkenal China, A wise man adapts himself to circumstances, as a water shapes itself to the vessels that contains it. Orang bijak akan menyesuaikan diri dengan keadaaan, seperti air yang membentuk dirinya sendiri sesuai dengan bejana yang menampungnya.

Jadi, apakah sobat OSC tertarik untuk mendalami budaya Rusia atau sekedar untuk berkunjung dan berwisata ke sana? Bagaimana pendapatmu mengenai budaya Rusia?

Sumber Gambar : https://www.republika.co.id/berita/qljhf9382/kremlin-bersyukur-atletnya-bisa-tampil-tanpa-bendera-rusia

  428 Views    Likes  

Inovasi kurikulum merdeka untuk membangun pendidikan berkualitas di era digital

previous post

Menjadi Raksasa di Udara, Yuk Ketahui Lebih Banyak Fakta Tentang Pesawat Terbang
Inovasi kurikulum merdeka untuk membangun pendidikan berkualitas di era digital

next post

Inovasi kurikulum merdeka untuk membangun pendidikan berkualitas di era digital

related posts